Skip to main content

Dimana Ada Cinta, Disana Tuhanpun Ada

Leo Tolstoy      Foto: wikipedia.org
Di sebuah kota hiduplah seorang pembuat sepatu Martuin Avdeich. Dia tinggal di basement, di sebuah ruang kecil dengan satu jendela. Jendela tersebut menghadap ke jalan. Dari jendela itu terlihat bagaimana orang-orang berlalu-lalang; walaupun yang terlihat hanya kaki, namun Martuin Avdeich bisa mengetahui orang-orang berdasarkan sepatunya. Martuin Avdeich sudah lama tinggal di satu tempat, dan dirinya memiliki bayak kenalan. Sepasang sepatu yang langka di lingkungannya tidak hanya sekali dua kali diperbaikinya. Ada yang sol luarnya rusak, ada yang ditambal, ada yang dijahit keliling, bahkan dia juga mengerjakan atasan sepatu yang baru.
Diapun sering melihat hasil kerjaannya sendiri dari jendela. Pesanannya banyak karena Avdeich bekerja dengan sangat bagus, menggunakan bahan yang bagus, tidak mengambil untung, dan dia memegang perkataanya. Jika dia bisa menyelesaikan dengan tepat waktu, akan diterimanya, namun jika tidak, dia tidak akan berbohong. Dan semua orang tahu Avdeich, dan dia tidak pernah kekurangan pesanan. Avdeich selalu menjadi orang baik, namun karena sudah tua dia menjadi lebih berpikir tentang jiwanya sendiri, dan lebih mendekatkan diri ke Tuhan. Martuin pernah mempunyai seorang istri ketika hidup dengan majikannya. Setelah istrinya meninggal, yang ada padanya hanya seorang anak kecil berusia 3 tahun. Anak-anak mereka tidak ada, mereka semua meninggal pada saat kecil. Pada awalnya dia ingin menyerahkan anaknya pada kakaknya di desa, tapi kemudian dia berpikir: “Akan sulit bagi Kapitoshka-ku untuk tumbuh di keluarga yang asing baginya, biarlah dia tetap bersamaku”. Pergilah dia dari majikannya dan mulai hidup bersama dengan ananknya di sebuah pondok. Tuhan tidak memberikan Avdeich sukacita melalui anak-anaknya. Baru saja anaknya tumbuh, mulai membantu ayahnya, dan baru saja sukacita ada padanya, Kapitoshka jatuh sakit, dan anak kecil itu terbaring, menderita selama seminggu, dan kemudian meninggal. Martuin memakamkan anaknya lalu putus asa. Sangat putus asa, dia mulai berbisik kepada Tuhan. Kebosanan seperti itulah yang ada pada Martuin, bahwa dia tidak hanya sekali meminta kematian dan menyalahkan Tuhan karena bukan dirinya, orang yang sudah tua yang diambil Tuhan, melainkan anak kesayangan satu-satunya. Avdeich tidak lagi pergi ke gereja. Suatu waktu ada seorang tua, dari biara Trinitas, mengunjunginya, karena sudah delapan tahun dia tidak pergi ke gereja. Berbicaralah Avdeich dengan dirinya, dan dia mulai mengeluh kepadanya.

- Dan hidup - kata dia, - saya sudah tidak ingin lagi. Saya hanya ingin mati, hanya itu yang saya minta dari Tuhan. Saya, orang tanpa harapan sekarang.

Dan orang tua itu kepadanya

- Tidak baik bicara seperti itu Martuin, kita tidak boleh menghakimi pekerjaan Tuhan. Tidak dengan pikiran kita, tapi dengan pikiran Tuhan. Anakmu Tuhan ambil, tapi kamu mash hidup. Berarti lebih baik seperti itu. Kamu putus asa karena kamu ingin hidup untuk kesenanganmu sendiri.

- Dan untuk apa hidup? – tanya Martuin.

Orang tua pun berkata:

- Untuk Tuhan, Martuin. Dia memberikan kamu kehidupan, dan harus hidup untuknya. Ketika untukNya kamu mulai hidup, kamu tidak akan berduka cita dalam hal apapun, dan semua akan terlihat mudah bagi kamu.

Martuin diam sejenak dan berkata:

- Dan bagaimana hidup untuk Tuhan?

Dan orang tua itu menjawab:

- Dan hidup untuk Tuhan, Kristus sudah menunjukannya. Kamu bisa baca-tulis? Belilah injil dan bacalah, disana kamu pasti akan mengetahuinya, bagaimana Tuhan hidup. Di sana ditunjukan dengan jelas.

Dan perkataan itu menerangi hati Avdeich. Dia pun pergi di hari itu juga membeli kitab Perjanjian Baru dalam cetakan besar dan mulai membacanya.

Avdeich ingin membaca hanya pada setiap hari besar, dan begitulah dia mulai membaca, dan begitu pulalah jiwanya menjadi lebih baik, dan dia mulai membacanya setiap hari. Sesuatu waktu ketika ia membaca, minyak tanah di lampu habis terbakar, dan dia tidak bisa merobek semuanya dari buku. Dan begitulah Avdeich mulai membaca di sore hari. Semakin dia membaca, maka dia semakin mengerti lebih jelas, apa yang Tuhan inginkan dari dirinya dan bagaimana hidup untuk Tuhan, dan semua menjadi mudah dan semakin mudah di hatinya. Dulu, sebelum dia berbaring tidur, dia menguap dan mengerang, dan ia teringat semua tentang Kapitoshka, dan sekarang ia hanya mengucapkan “Terpujilah Engkau, Terpujilah Engkau, Tuhan! kehendakMu lah yang jadi”. Pada moment itu pula seluruh hidup Avdeich berubah. Dulu, pada saat hari raya, dia minum teh di bar, tapi juga tidak menghindari vodka. Dulu dia minum dengan kenalannya, walaupun tidak sampai mabuk, lalu keluar dari bar dengan tertawa dan bercanda gurau, berteriak dan mengucapkan kata kasar ke orang lain. dan semua itu sudah pergi darinya. Hidupnya menjadi tenang dan bahagia. Dari pagi dia duduk bekerja, menyelesaikan pesananya, mengangkat lampu dari cantelannya, menaruhnya di meja, mengambil buku dari rak, dan duduk membaca. Dan semakin sering dia membaca, maka dirinya menjadi semakin mengerti, di dalam hatinya semakin paham dan semakin gembira.

Suatu waktu Martuin membaca lebih larut. Dia membaca injil Lukas. Dia membaca pasal enam, dan membaca ayat-ayat “Barang siapa menampar pipimu yang satu, berikanlah kepadanya pipimu yang lain, dan barang siapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. Berikanlah kepada setiap orang yang meminta kepadamu, dan janganlah meminta kembali orang yang mengambil kepunyaanmu”.

Dia membaca ayat-ayat tersebut lebih jauh, dimana Tuhan berkata:

“Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan? Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarka perkataan-ku serta melakukannya—Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan--, dia sama dengan seseorang yang mendirikan rumah. Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Akan tetapi barang siapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melanda rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya”.

Setelah membaca kata-kata itu, jiwa Avdeich menjadi bahagia. Dia mengangkat kacamata, lalu menaruhnya diatas buku, menaruh sikutnya ke meja dan merenung. Dan diapun mulai mengibaratkan hidupnya ke dalam ayat-ayat tersebut, dan berpikir dalam hati:

“Yang mana rumahku, yang diatas batu atau yang diatas pasir? Baiklah, seperti di atas batu. Mudah seperti itu, kamu duduk sendirian, terlihat semua dikerjakan, seperti yang Tuhan perintah, tapi ketika kamu lupa diri, maka kamu kembali berdosa. Sama masih berjuang. Itu sangat baik. Tolong aku Tuhan!”

Dia berpikir seperti itu, dan ingin berbaring, namun dirinya masih enggan untuk berpisah dengan buku. Dan mulailah dia membaca lagi ayat ketujuh. Dia membaca tentang seorang perwira, membaca tentang anak seorang janda, membaca tentang jawaban kepada murid-murid Yohanes dan akhirnya sampai ke tempat, dimana orang farisi kaya memanggil Tuhan untuk bertamu pada dirinya, dan membaca tentang bagaiman seorang wanita berdosa membasuh kakikNya dan mencuciNya dengan tangisan, dan bagaimana Dia membebaskan wanita itu. Dan dia Martuin sampai pada ayat ke empat puluh empat dan mulai membaca:

“Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, ia berkata kepada Simon:”Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku, denga minya, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi”. Dia membaca kata-kata tersebut dan berpikir: “Air untuk membasuh kaki tidak diberi, ciuman tidak diberi, kepala tidak diminyaki dengan minyak...”.

Sekali lagi Avdeich mengangkat kacamatanya, dan meletaknya ke atas buku, dan merenung kembali.

“Kelihatan, saya dulu seperti orang farisi itu. Sepertinya saya hanya memikirkan tentang diri sendiri. Meminum teh, menjadi hangat dan nyaman, namun tidak memikirikan tentang tamu. Hanya memikirkan tentang diri sendiri, namun tentang tamu tidak sama sekali. Tapi siapa saya? Tuhan itu sendiri. Jika Ia datang kepada diriku, apakah aku melakukan hal yang sama?”

Dan Avdeich bersandar pada kedua tangannya, dan tidak sadar dia tertidur.

“Martuin!”, tiba-tiba sesuatu terdengar ditelinganya.

Martuin bangun setengah terjaga: “siapa disana?”, Dia membalikan badan, melihat ke pintu, tidak siapa-siapa. Dia kembali tidur. Tiba-tiba terdengar jelas:

“Martuin, Martuin! Besok liat ke jalan, saya akan datang”, Martuin terbangun, membangunkan diri dari meja, dan mulai mengusap mata. Dia sendiri tidak mengerti, apakah hanya dalam mimpi atau nyata dia mendengar kata-kata itu. Lalu dia memadamkan lampu dan tidur.

Keesokan harinya sebelum matahari terbit, Avdeich berdoa kepada Tuhan, lalu menyalakan kompor, memasak sup, bubur, memasak air di ceret logam, menggunakan celemeknya, dan duduk bekerja di dekat jendela. Avdeich duduk, bekerja, dan sambil memikirkan tentang tadi malam. Dia memikirkan hal tersebut dua kali; pada awalnya dia merasa bahwa itu hanya mimpi, namun dia merasa benar-benar mendengar suara itu “Saya pikir, bahwa itu benar-benar terjadi”.

Martuin duduk di dekat jendela, dia beberapa kali dia tidak mengerjakan pekerjaannya, beberapa kali dia melihat ke jendela, dan jika ada sesorang yang lewat dengan sepatu yang tidak dikenalnya, dia membungkukkan badan, untuk melihatnya dari jendela, agar bukan hanya kaki yang terlihat, tetapi juga wajahnya. Tukang pembersih halaman lewat memakai boots baru, tukang air juga lewat, kemudian lewat tentara tua jaman tsar Nikolai menggunakan sepatu boots tua dengan sekop ditangannya. Avdeich mengenal sepatu boots nya. Orang tua itu bernama Stepanich, dan dia tinggal di rumah pedagang sebelah karena belas kasihan. Pekerjaannya adalah membantu tukang pembersih halaman. Dia mulai membersihkan salju di depan jendela Avdeich. Avdeich melirik orang tua itu, dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Huh, saya pasti gila karena sudah tua,” Avdeich menertawakan dirinya sendiri. “Stepanich membersihkan salju, namun saya berpikir Kristus datang ke saya. Benar-benar sudah gila, dasar orang tua.”

Sudah puluhan jahitan yang dikerjakan Avdeich, dan dia kembali menarik diri menoleh ke jendela. Dia kembali menoleh ke jendela, melihat Stepanich menaruh sekop ke dinding, lalu orang tua itu entah menghangatkan diri atau beristirahat.

Orang tua itu kelelahan, terlihat untuk menyekop salju sudah tidak ada tenaga. Avdeich berpikir: “saya akan memberikannya minum teh, sepertinya air juga sudah mendidih”. Avdeich menaruh jarumnya, berdiri, lalu menaruh ceret ke meja, menuangkan teh dan mengetuk-ngetuk kaca. Stepanich membalikan badan dan mendekati jendela. Avdeich memberikannya isyarat untuk pergi ke pintu.

“Masuklah, dingin, hangatkan badanmu dengan teh”, katanya

“Semoga Kristus memberkatimu, tulang-tulangku sudah sakit”, kata Stepanich

Masuklah Stepanich, membersihkan dirinya dari salju, menyeka kakinya, agar tidak mengotori lantai, namun dirinya sempoyongan.

“Tidak usah. Nanti saya yang bersihkan, itu kerjaan saya. Mari masuk, duduklah”, kata Avdeich.

“Minumlah tehnya”.

Dan kemudian Avdeich menuang dua gelas teh, satu untuk tamunya, dan satu lagi untuknya, dan mulai meniupinya.

Stepanich sudah meminum tehnya, membalikkan gelasnya, lalu menaruh potongan gula, dan berterima kasih, namun terlihat bahwa ia masih mau.

“Minumlah lagi”, kata Avdeich, lalu ia menuangkan segelas lagi untuk dirinya dan untuk tamunya. Avdeich meminum tehnya, dan dia melirik-lirik ke jalan lagi.

“Siapa yang kamu tunggu?” tanya Stepanich

“Siapa yang saya tunggu? Saya malu mengatakan siapa yang saya tunggu. Saya menunggu, tapi tidak menunggu, namun ada sesuatu di hati saya. Itu hanya mimpi atau tidak. Tahu kah kamu, saudaraku, kemaren saya membaca injil tentang Tuhan Anak, bagaimana Dia menderita, bagaimana dia berjalan di bumi ini, kamu pasti pernah dengar, kan?”

“Ya, dengar, dengar”, jawab Stepanich, “tapi kita ini manusia dalam kegelapan, kita berhak membacanya”.

“Nah, saya membaca tentang bagaimana Dia berjalan di bumi ini, saya membaca sesuatu, kamu tahu, bagaimana dia datang ke orang farisi, dan orang itu tidak menjamunya. Itulah yang saya baca, saudaraku, saya memikirkan hal itu, bagaimana Tuhan tidak mendapatkan kehormatan. Misalnya seperti contoh, Tuhan datang pada saya atau ke siapapun juga, saya pikir saya tidak tahu bagaimana menjamunya. Farisi itu tidak memberikan apapun. Saya terus berpikir, kemudian saya tertidur. Saya tertidur, suadaraku, dan mendengar nama saya dipanggil, saya bangun, seseorang berkata, tunggu, katanya, besok saya pasti datang. Itu terjadi dua kali, percayakah kamu, suara itu ada di pikiran ku”, saya bersumpah, saya akan menunggunya.

Stepanich menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mengucapkan apapun, dia menghabiskan tehnya dan meletakan gelasnya ke samping, namun Avdeich mengangkat kembali gelasnya dan minum tehnya.

“Minumlah lagi, supaya sehat. Saya juga berpikir, ketika dia, Tuhan, berjalan di bumi, Dia tidak merendahkan siapapun, tapi dengan orang-orang biasa, lebih banyak yang dilakukannya. Dia memilih murid-muridnya dari orang-orang seperti kita, orang-orang berdosa, para kaum pekerja. Dia berkata, siapa yang meninggikan dirinya, maka akan direndahkan, namun siapa yang merendahkan dirinya, maka akan ditinggikan. Katanya, kalian memanggilKu, Tuhan, tapi Saya, kataNya, membasuh kakimu. Dia berkata, siapa yang ingin menjadi yang pertama, dia harus melayanai semuanya. kataNya, berbahagialah orang miskin, rendah hati, baik, dan penyayang.”

Stepanich lupa akan tehnya. Dia orang yang sudah tua dan mudah tersentuh hatinya. Dia duduk, mendengarkan, dan di wajahnya sudah berlinang air mata.

“Minumlah lagi”, kata Avdeich. Tapi Stepanich membuat tanda salib, berterimakasih, menaruh gelasnya menjauh, lalu berdiri.

“Terimakasih”, katanya, “Martuin Avdeich, kamu memperlakukanku dengan baik, memuaskan jiwa dan raga.”

“Terimakasih kembali, berkunjunglah kembali, dengan senang hati menerimamu”, kata Avdeich.

Lalu Stepanich pergi, dan Martuin meminum teh terakhirnya, sampai habis, lalu membereskan gelas-gelas dan kembali duduk deket jendela untuk bekerja, menjahit tambalan. Saat menjahit, dia melirik ke jendela, dia menunggu Kristus, semuanya hanya tentang Dia, dan memikirkan tentang semua pekerjaanNya. Dan dalam kepalanya terpikir perkataan Kristus yang berbeda.

Dua tentara lewat melintas, satu menggunakan sepatu dinas, satunya lagi menggunakan sepatunya sendiri, kemudian pemilik rumah sebelah lewat menggunakan sepatu karet yang bersih, tukang roti lewat dengan keranjangnya. Semua lewat melintas, dan terlihat dari jendela seorang wanita menggunakan kaos kaki terbuat dari wol, dan sepatu kayu. Dia lewat melintas, lalu berhenti di dekat jendela. Avdeich menantapnya dari bawah jendela, terlihat wanita asing, berpakaian jelek dengan seorang anak, berdiri di tembok menyandarkan punggungnya dan menyelimuti bayinya, namun tidak sesuatu untuk menghangatkan dirinya. Pakaian yang dikenakanpun, pakaian musim panas dan jelek pula. Dan karena Avdeich mendengar bingkai jendela, bayi itu menangis, wanita itu memohon padanya, memohon padanya dengan sangat, Avdeich berdiri, pergi ke pintu, dan mengetuk tangga:

“Wanita, Hai wanita!”, wanita tersebut mendengar dan membalikan badan. “Kenapa kamu berdiri dengan anakmu di kedinginan sana? Masuklah untuk menghangatkan badan, akan lebih baik jika hangat, lewat sini”.

Terkagetlah wanita itu. Dia melihat seorang pria tua dengan celemeknya, menggunakan kacamata, memanggil dirinya. Wanita itu menghampirinya.

“Lewat sini”,katanya, “duduklah, lebih dekat ke kompor, hangatkan dirimu, dan berikan anakmu makan”.

“ASI ku tidak ada, saya sendiri tidak makan dari pagi”, kata wanita itu, bagaimanapun juga dia tetap menyusui bayinya.

Avdeich menggeleng-gelengkan kepalanya, dia pergi ke meja, mengambil roti, mangkok, membuka katup kompor, menuang sup ke mangkok, mengambil panci berisi bubur, yang belum matang, menuangkan sup kubis dan menaruhnya di meja, mengambil roti, mengambil serbet dari gantungan lalu meletakannya di meja.

“Duduklah”, katanya, “makanlah, saya akan menjaga anak anakmu, dulu sayang mempunyai anak. Saya bisa menjaga mereka”.

Wanita itu membuat tanda salib, duduk di bangku dan mulai makan, dan Avdeich duduk dikasur di dekat bayi itu. Avdeich menciumi bayi itu dengan bibirnya, namun ciuman yang tidak enak, giginya sudah tidak ada. Bayi itu masih menangis. Dia berpikir menggoda anak itu dengan menggoyang-goyangkan jari ke mulutnya, lalu buru-buru menariknya. Dia tidak memberikan jarinya, karena jarinya hitam penuh dengan lem. Anak itu menatap jari itu lalu menjadi diam, kemudian mulai tertawa. Bahagialah Avdeich. Dan wanita itu makan, dia bercerita tentang siapa dia dan kemana dia ingin pergi.

“Saya”, katanya. “seorang istri tentara, suami saya sudah delapan bulan diperintah ke tempat jauh, dan tidak mendengar apapun. Saya hidup sebagai tukang masak, dan saya melahirkan. Dengan seorang anak mereka tidak mau menampung kami. Sekarang sudah tiga bulan saya tidak punya tempat. Semua yang ada sudah saya gunakan. Saya ingin menjadi pengasuh, namun tidak ada yang mempekerjakan saya, katanya saya terlalu kurus. Pergilah saya ke istri pedagang itu, di sana nenek saya tinggal, dia berjanji menampung saya. Saya pikir ini jalan keluarnya. Namun dia meminta saya untuk datang minggu berikutnya. Dia tinggal sangat jauh, saya lelah, anak saya juga. Hati kami tersiksa. Untungnya nyonya pemilik rumah kasihan kepada kami demi kasih Kristus, dia memberikan kami tempat tinggal. Tapi saya tidak tahu bagaimana tinggal di sana”.

Avdeich menghela nafas dan berkata:

“Kamu memiliki pakaian yang hangat, tidak?”

“Memang harusnya saya menggunakan pakaian hangat. Tapi kemarin saya menggadaikan saputangan terakhir saya dengan harga dua puluh kopek”.

Wanita itu mendekati kasur lalu mengambil anaknya, dan Avdeich berdiri, berjalan ke dinding, mencari-cari sesuatu, dia membawa sebuah mantel tua.

“Nah, ambilah”, katanya. Meskipun sudah tua tapi masih berguna menghangatkanmu.

Wanita itu melihat mantel itu, kemudian pria tua itu, lalu mengambil mantel itu dan menangis. Avdeich pun berbalik, lalu merangkak di bawah ranjang, menarik sebuah kotak, lalu mengaduk-aduk di dalamnya, dan duduk kembali di hadapan wanita itu.

Berkatalah wanita itu:

“Tuhan memberkatimu, kek! Dia mengirimku melalui jendelamu. Saya membuat anakku kedinginan. Sewaktu saya keluar masih hangat, namun sekarang sangat dingin. Dia, Tuhan, telah membuat kamu melalui jendela melihat aku yang menderita, sangat kasihan”.

Avdeich tersenyum dan berkata:

“Ya dia yang membuat seperti itu. Saya melihat ke jendela bukan tanpa tujuan”.

Martuin menceritakan pada istri tentara itu, bagaimana dia mendengar suara, yang menjanjikan bahwa hari ini Tuhan akan datang kepadanya.

“Tidak ada yang mustahil”, kata wanita itu, lalu dia berdiri, mengenakan mantel itu, menghangatkan anaknya dan membungkukan diri, berterimakasih kepada Avdeich sekali lagi.

“Ambilah, Tuhan menyertaimu”, kata Avdeich memberikannya dua puluh kopek. “Belilah kerudung”. Wanita itu membuat tanda salib, Avdeich juga membuat tanda tersebut, lalu mengantar wanita itu.

Wanita itu pergi. Lalu Avdeich memakan supnya, dan duduk kembali untuk bekerja. Dia bekerja sendirian, dia masih inget tentang jendela, di jendela sudah semakin gelap, sekarangpun dia melihat siapa yang lewat. Orang-orang kenalanyanya lalung lalang, yang lain juga melintas, dan tidak ada seseorang yang spesial.

Dan Avdeich melihat, di seberang jendela, berhenti seorang wanita tua, seorang pedagang. Dia membawa keranjang apel. sudah tidak banyak yang tersisa, kelihatan jika dia menjual semuanya, dan dibahunya ada sekantung keripik. Tampaknya dia mengumpulkannya di bangunan pada saat jalan pulang. Terlihat bahunya menarik keripik itu, dia ingin memindahkannya ke bahu yang lain, menurunkan kantung itu ke jalan, menaruh keranjang apel ke tiang kecil dan mulai menggoyang-goyangkan keripik yang ada di dalam kantung. Pada saat dia menggoyang-goyangkan kantung, entah dari mana muncul seorang anak kecil yang memakai topi compang-camping membungkuk, mengambil apel dari keranjang itu dan anak itu ingin kabur, namun wanita tua itu menyadarinya, dia membalikan badan dan menarik anak muda itu dengan tangannya. Anak itu berusaha, ingin kabur, namun wanita tua itu menangkapnya dengan tangannya, dia menarik rambut anak itu. Anak itu teriak, wanitu memarahinya. Melihat itu Avdeich tidak punya waktu untk menaruh tongkatnya, ia melemparkannya ke lantai, berlari ke pintu, bahkan dirinya sempat terjatuh di tangga dan kacamatanya jatuh. Avdeich lari keluar ke jalan, wanita tua itu menarik anak itu di rambutnya dan memarahinya, ingin melaporkanya ke polisi, anak muda itu membela diri dan tidak mau dihukum.

“Saya tidak mengambilnya, lepaskan”, kata anak itu.

Avdeich mulai melerai mereka, menarik tangan anak itu dan berkata:

“Lepaskan dia, maafkanlah dia, demi Tuhan”

“Saya memaafkannya, dia tidak akan lupa sampai sapu baru. Saya akan membawa anak nakal ini ke polisi”

Avdeich mulai memohon pada wanita tua itu.

“Lepaskan”, kata anak itu. “Nek, dia tidak akan mengulanginya, demi Tuhan. Lepaskanlah”

Wanita tua melepaskannya, anak kecil itu ingin lari, tapi Avdeich menahan dia.

“Minta maaf”, kata Avdeich “Nenek ini memaafkanmu. Dan jangan kamu ulangi lagi, saya lihat bagaiman kamu mengambilnya”

Anak kecil itu menangis, dan mulai meminta maaf.

“Nah begitu, dan sekarang ini apelnya, buat kamu”

Avdeich mengambil apel dari keranjang dan memberikannya ke anak itu

“Saya bayar”, kata Avdeich ke wanita tua itu.

“Kamu memanjakan mereka, para anak anak nakal ini”, kata wanita tua itu, “Dia harus diperlakukan seperti itu agar dia ingat sepanjang minggu”.

“Eh nek”, kata Avdeich, “Menurut kita seperti itu, tapi menurut Tuhan tidak demikian. Jika dia harus dihukum karena sebiji apel, lalu apa yang pantas untuk dosa kita?”

Wanita tua itu terdiam.

Dan Avdeich menceritakan sebuah perumpamaan tentang bagaimana seorang tuan memaafkan budak atas semua hutangnya, tapi budak itu pergi dan mulai mencekik orang yang berhutang padanya. Wanita tua dan anak itu memperhatikan cerita itu.

“Tuhan memerintahkan untuk memaafkan”, kata Avdeich, kita mungkin tidak dimaafkan. Semua harus dimaafkan, juga bagi yang tidak bijaksana .

Wanita tua menggelengkan kepala dan menghela nafas.

“Begitulah”, kata wanita tua itu “Tapi mereka sangat dimanjakan”

“Kita, yang tua harus mengajari mereka”, kata Avdeich

“Itulah yang saya maksud”, kata wanita itu “Dulu saya memiliki tujuh orang seperti ini, kini hanya tinggal satu anak perempuan”

Dan mulailah wanita tua itu menceritakan dimana dan bagaimana dia tinggal pada anak perempuanya itu dan berapa cucunya.

“Itulah”, katanya “Kekuatanku sudah tidak begitu besar, tapi harus bekerja keras. Dengar, saya merasa kasihan terhadap cucu-cucu saya, mereka cucu yang baik, tidak ada orang yang akan menemui saya, seperti mereka. Mereka tidak akan menghampiri siapapun dan pergi dari saya. Neneknya, nenek yang baik, dan murah hati”, wanita tua itu menjadi sangat sentimentil.

“Tentu sajam itu kenakalan anak kecil. Tuhan menyertainya” kata wanita tua tentang anak kecil itu.

Baru saja ingin mengangkat kantung ke bahunya, anak itu menghampirinya dengan cepat dan berkata:

“Biarlah, nek, saya yang membawanya di jalan”, wanita tua menganggukan kepalanya dan menaruh kantungnya ke anak itu.

Dan mereka berjalan berdekatan. Dan wanita tua itu lupa meminta uang kepada Avdeich untuk bayar apel. Avdeich berdiri lalu melihat bagaimana mereka semua berjalan dan mendengarkan sesuatu yang dibicarakan mereka.

. Mereka pergi, Avdeich kembali ketempatnya, menemukan kacamatanya di tangga, kacamatanya tidak rusak, mengambil tongkat dan kembali duduk untuk bekerja. Dia sudah tidak banyak bekerja, hari semakin gelap, dan terlihat tukang lampu berjalan menyalakan lampu. “Sepertinya, saatnya menyalakan lampu sekarang”, pikir dia, dia menyalakan lampu, menggantungnya, dan dia memulai kembali bekerja. Dia menyelesaikan sebuah boot, membalikannya, lalu melihatnya, “sudah bagus”. Dia meletakan peralatannya, menyapu sisa-sisa guntingan, membersihkan bulu-bulu, dan selesai, dan dia mengambil lampu, meletakkannya di meja dan mengambil kitab injil dari rak buku. Dia ingin membuka buku itu di bagian, dimana dia kemaren meletakan sepotong kulit kambing sebagai pembatas, lalu dia membuka bagian lain. dan begitulah Avdeich membuka kitab injil, dan dirinya kembali teringat akan mimpinya kemaren. Dan ketika dia baru mengingat, bagaimana dia tiba-iba mendengar sesuatu, seperti dia menedegar seseuatu, seperti seseorang bergerak di belakangnya. Avdeich berbalik badan dan melihat: secara jelas orang-orang berdiri di sudut yang gelap, orang-orang berdiri, tapi dia tidak bisa menebak siapa mereka. Suara berbisik di telinganya:

“Martuin! Martuin. Atau kamu tidak mengenal aku?”

“Siapa?”, kata Avdeich.

“Aku”, suara itu terdengar, “Ini aku”,

Dan Stepanich keluar dari sudut yang gelap, dia tersenyum, dan seperti awan yang semakin jauh, dan pada akhirnya menghilang.

“Ini aku”, suara itu terdengar

Lalu keluar dari sudut yang gelap wanita dengan anaknya, wanita itu tersenyum dan anak tersebut tertawa, dan mereka juga menghilang.

“Ini aku”, suara itu terdengar

Lalu keluarlah wanita tua dan anak kecil dengan apelnya, mereka berdua tersenyum, dan menghilang kemudian.

Dan kebahagiaan muncul di jiwa Avdeich, dia membuat tanda salib, memakai kacamatanya, dan mulai membaca kitab Injil, disana dimana terbuka. Di bagian atas halaman dia membaca

“Ketika aku lapar, kamu memberikan aku makan, ketika haus, kamu memberikan aku minum, ketika aku seorang asing, kamu menerima aku”

Dan dibawah halaman dia melanjutkan membaca

“Bahwa apa yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku, yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Injil Matius pasat 25).

Dan Martuin mengerti bahwa mimpinya tidak menipunya; nyata bahwa Juruselamat benar-benar datang kepadanya, dan nyata bahwa ia benar-benar menerimanya.



Leo Tolstoy

=======================

BACA JUGA

Anak Kecil yang Licik (Anton Chekov)



Comments

Popular posts from this blog

Preposisi “в” dan “на” untuk Menunjukkan Tempat

Pada kesempatan ini saya mau sedikit share tentang penggunaan kata depan atau preposisi untuk menunjukkan tempat. Ada banyak preposisi dalam bahasa Rusia, namun pada artikel ini akan difokuskan untuk membahas “в” dan “на” untuk menjawab pertanyaan “ где ?” (dimana). Dalam bahasa Indonesia sendiri “в” dan “на” bisa diartikan dengan “di” atau “pada saat”, dsb. Namun ada beberapa situasi dasar, bagaimana menggunakan preposisi “в” dan “на”.

Galeri Foto Presentasi Pesawat Tempur MiG-35

MiG - 35      Foto: Marina Lystseva / TASS Di Lukhovitsy, kota pinggiran Moskow berlangung pertunjukan internasional pesawat temput terbaru berkemampuan multi fungsi MiG-35, yang uji terbangnya dimulai pada bulan januari. Pesawat ini akan melengkapi kekuatan armada udara Rusia.

Top 5 Russian Films tentang PD II

1. “The Cranes Are Flying” (1957) karya Mikhail Kalatozov Film yang mempunyai judul asli Летят журавли (baca: Letyat zhuravli) ini diproduksi pada tahun 1975. Film tersebut dipilih oleh kritikus film Rusia sebagai film terbaik pada peringatan 50 tahun pertama industri film Rusia. Film ini mengalahkan film-film klasik bertema PD II lainnya seperti "Ballad of a Soldier" (1959) karya Grigorii Chukhrai, "Fate of a Man" (1959)-nya Fedor Bondarchuk, dan "Ivan’s Childhood" (1962) karya Andrei Tarkovsky. Plot Veronica dan Boris berjalan di jalan-jalan Moskow, mereka saling mencintai satu sama lain. Veronica tertawa, karena mereka bahagia bersama pagi ini. Mereka melihat beberapa burung bangau terbang di langit. Ketika tiba di rumah Veronica ,mereka berbicara tentang sebuah pertemuan di tepi sungai. Dan PD II meletus di Moskow. Boris bekerja di pabrik dan ia tidak punya waktu untuk berbicara dengan Veronica, dan situasi sulitpun memaksa dirinya harus